Masuk / Daftar
15 Mei 2025
Dalam dunia investasi yang penuh ketidakpastian, investor sering mengandalkan informasi terbaru untuk mengambil keputusan. Fenomena ini dikenal dengan sebutan recency bias, yaitu kecenderungan untuk memberikan bobot yang lebih besar pada informasi terakhir yang diterima. Namun, bagaimana jika kondisi emosi seseorang, seperti rasa bahagia atau sedih, ikut bermain dalam proses pengambilan keputusan? Penelitian yang dilakukan oleh dosen Akuntansi UBAYA, Dr. Felizia Arni Rudiawarni, S.E., M.Ak., CFP., mencoba menjawab pertanyaan tersebut menggunakan pendekatan eksperimental di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Penelitian tersebut melibatkan mahasiswa tingkat akhir sebagai partisipan, yang diposisikan sebagai investor ritel. Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Dua kelompok berdasarkan kondisi emosi, yaitu bahagia dan sedih, serta dua kelompok berdasarkan urutan informasi, yaitu berita baik lalu buruk (GNBN), dan berita buruk lalu baik (BNGN). Emosi dipicu melalui cerita dan video pendek sebelum peserta diberikan studi kasus investasi yang memuat informasi keuangan secara berurutan.
Hasil utama penelitian tersebut menunjukkan bahwa recency bias sangat kuat. Terlepas dari kondisi emosi, peserta tetap lebih terpengaruh oleh informasi terakhir yang mereka terima. Dalam kondisi GNBN, peserta cenderung memberikan penilaian yang lebih rendah dibandingkan ketika mereka menerima informasi dalam urutan BNGN. Hal ini menunjukkan bahwa berita buruk di akhir memiliki dampak yang lebih besar dalam menurunkan valuasi saham.
Namun, terdapat temuan menarik saat meneliti reaksi peserta pada titik perubahan informasi (urutan keempat), yakni saat berita berubah arah. Dalam kondisi GNBN, peserta yang berada dalam kondisi emosi bahagia justru mengalami penurunan penilaian yang lebih tajam dibandingkan dengan yang sedih. Artinya, emosi bahagia membuat seseorang lebih rentan terhadap efek negatif daripada perubahan informasi yang tiba-tiba.
Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa informasi negatif memiliki pengaruh yang lebih kuat daripada informasi positif. Ketika perusahaan menyampaikan informasi buruk setelah serangkaian kabar baik, investor cenderung bereaksi lebih keras. Hal ini penting bagi manajemen perusahaan yang ingin menyusun strategi komunikasi publik. Lebih baik menyampaikan berita buruk lebih dahulu, baru kemudian berita baik.
Secara statistik, interaksi antara emosi dan urutan informasi tidak menunjukkan signifikansi yang kuat terhadap nilai keputusan akhir. Tetapi, pola perilaku tetap mengindikasikan bahwa emosi dapat memperbesar atau memperkecil dampak dari recency bias, tergantung pada konteks urutan informasinya.
Meskipun tidak mengubah pengaruh recency bias secara signifikan, emosi tetap berperan penting dalam persepsi dan reaksi terhadap informasi baru, terutama ketika terjadi perubahan arah. Dengan memahami dinamika ini, perusahaan publik dan pelaku pasar dapat membentuk strategi komunikasi yang cerdas agar tidak “dihukum” terlalu keras oleh pasar. Penelitian ini juga membuka jalan bagi studi lanjutan tentang interaksi antara psikologi emosi dan perilaku keuangan di pasar negara berkembang.
*Note:
Ulasan diatas merupakan rangkuman dari:
Rudiawarni, F. A., Narsa, I. M., & Tjahjadi, B. (2020). Are emotions exacerbating the recency bias?: An experimental study. International Journal of Trade and Global Markets, 13(1), 61–70.
Download full artikel:
Populer